Saturday 12 September 2015

Dibalik Tragedi Jatuhnya Crane di Masjidil Haram, Kenapa Saling Menyalahkan?

Hal pertama yang saya rasakan saat mendengar kabar kecelakaan di dalam masjidil haram adalah kaget luar biasa, kebetulan saat pertama mendengar kabar, saya sedang buka Instagram, saya dapat langsung video dan gambar dari sebuah akun orang arab yang saya follow, tanpa pikir panjang saya langsung putar TV, kebetulan yang menyiarkan MetroTV, tapi beritanya dibuat sangat mengerikan, saya coba channel lain akhirnya TvOne juga memberitakan dengan lebih tenang.

Saya kaget karena tak menyangka peristiwa ini akan terjadi apalagi disebabkan oleh badai dan angin dan esok harinya ada keluaga saya yang ikut berangkat menjadi jamaah haji tahun ini.

Peristiwa ini menjadi berita hangat diseluruh jaringan televisi dunia karena jamaah yang menjadi korban jatuhnya crane ini berasal dari berbagai dunia termasuk Indonesia yang kebetulan presiden Indonesia baru saja mendarat di Arab Saudi saat peristiwa ini terjadi.

Secara tidak langsung ini menjadi menarik, karena kehadiran bapak Joko Widodo diberitakan beberapa media online menjadi penyebab jatuhnya crane dengan redaksi seolah-olah presiden Joko Widodo tidak diterima di tanah suci karena sering berbohong. Ada-ada saja kan media kita?

Ternyata tidak hanya media yang pintar mengolah kata agar terlihat seperti asli. Beberapa pembesar di Indonesia ikut berkomentar mengenai peristiwa jatuhnya crane di Arab Saudi.

Anggota DPR ada yang mengatakan bahwa tidak seharusnya alat-alat berat berada di Masjidil Haram saat jutaan umat manusia menunaikan ibadah haji dan meminta pemerintah Arab Saudi bertanggung Jawab. 


Saya rasa, kurang tepat kita menyalahkan alat berat dan pemerintah arab yang lalai, yang namanya di seputaran masjidil haram setiap hari jamaah selalu jutaan orang dan selama ini alat-alat berat itu memang dibutuhkan untuk mempercepat proses renovasi. Saat kejadian pun alat-alat itu sedang tidak difungsikan.

Kejadian ini murni musibah, karena tidak biasanya di Arab ada hujan, badai serta angin. Pemerintah Arab tau seperti apa ukuran dan resiko merenovasi masjidil haram ditengah jamaah Umrah dan Haji yang tiada henti. Jadi tak perlulah menyalahkan pemerintah arab.

Ada juga pejabat yang ikut menyalahkan pemerintah Indonesia karena kurang sosialisasi cuaca ekstream di Arab. Sebesar apapun sosialisasi, jika musibah sudah menghampiri, kita cuma bisa terdiam. Karen segala sesuatu adalah milik Allah, Allah berkehendak atas apapun di dunia ini.

Saya justru dibuat terharu dengan sikap sebuah keluarga jamaah haji yang ikut tertimpa musibah jatuhnya crane ini. Ibu mereka yang mengalami kecelakaan dikabarkan meninggal dunia tapi jenazahnya belum ditemukan oleh Bapak mereka yang ikut menjadi jamaah haji. Mereka terlihat tenang dan ikhlas apapun yang terjadi. Karena bagi mereka, perpisahan saat mengantar jamaah bisa jadi perpisahan terakhir, mereka sudah ikhlas apapun yang terjadi di Arab nantinya, karena tujuan berangkat semata karena panggilan Allah. Entah dipanggil sementara atau dipanggil selamanya.

Saya teringat dengan sebuah pesan saat menghadiri syukuran keberangkatan salah satu jamaah haji, yang paling penting dalam ibadah haji itu bukan selamat pergi dan selamat pulang ketanah air. Tapi selamat pergi dan sempurna semua rukun haji. Masalah pulang ga penting, karena meninggal saat berhaji dan umrah adalah salah satu kemuliaan menjadi tamu Allah. 



Menurut Dr (HC). Ary Ginanjar Agustian, tidak mudah, sulit, berat dan menyedihkan menderngar berita kecelakaan di Masjidil Haram yang merenggut seratus lebih jiwa yang meninggal dan luka-luka. Dari sisi intelektual, tentu ini menjadi masalah tekhnis dan force majeure bencana alam yang perlu di evaluasi dan dipertanggung jawabkan secara tekhnis. Dari sisi emosional, ini adalah masalah kemanusiaan, tentu berat bagi keluarga yang terkena musibah maka harus ditangani dengan penuh tanggung jawab kemanusiaan.

Tapi kita harus melihat dari sisi spritual kita harus melihat kejadian ini bahwa mereka yang menjadi korban bisa jadi sedang tersenyum menikmati indahnya surga firdaus.

Disini kita diajarkan untuk memahami kalimat tauhid yang sebenarnya, berhaji adalah memenuhi panggilan Allah. Jika tak pernah kembali karena panggilan Allah, ini suatu kemuliaan. Bayangkan, meminggal saat sedang memenuhi panggilan Allah, dihari jumat yang sangat mulia pas di depan ka'bah. Tak semua orang bisa menikmati meninggal seperti ini. Hanya satu kata "Subhanallah..."

"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan sebenarnya, mereka hidup tapi kamu tidak menyadarinya. (Al-Baqarah 154)






Advertiser