Saturday 23 April 2011

Jika Rumah Kyai Lebih Baik Dari Asrama Santri, Maka Santri “boleh” Memberontak

Sebagai sebuah idealisme, semangat sebagaima yang tersirat dalam ungkapan Pak Sahal itu layak dipertahankan. Tapi tentu saja bukan dalam konteks “head to head” dengan membandingkan Asrama Santri harusa sama dengan Rumah Kyai, masakan santri juga harus sama dengan idamnya pak Kyai. Tapi harus kita letakkan dalam konteks bahwa kesejahteraan santri itu berbanding lurus dengan apa yang diterima oleh Kyai.

Coba kita bandingkan sekarang. Rumah pak Kyai keramik, bukankah Mantiqoh kita juga keramik? Rumah pak kyai bagus, bukankah kelas dan mantiqoh kita juga bagus? Pak kyai makan nasi, bukankah kita juga tidak makan tiwul?? Cuma karena kita para santri ini hidupnya komunal dan cenderung sembarangan, kurang bisa merawat, makanya rayon kita terkesan kumuh dan jelek...padahal kalau dibandingkan kualitas gedung sekolah dan asrama di luar, yang sebulan Cuma bayar 375rb, apa rayon kita tu bukan “surga” namanya??

Justru kalau kita bicara secara “head-to head”, menurut saya MAPI DLOMIR JIDDAN, coba antum renungkan, relakah antum kalau Ust Hasan tidur beralaskan matras seperti kita di rayon?? Relakah antum ust syukri makan dengan salatoh roha?? Relakah antum beliau-beliau itu menerima tamu ma’had dengan kursi sebagaimana yang kita gunakan di kelas??

Kurang lebih begitulah memaknai ungkapan Pak Sahal diatas. Saya dulu pernah pengabdian S-1 di salah satu pondok alumni di Banten. Rumah Kyai dan keluarga pondoknya megah luar biasa, disaat perpustakaan pondok itu tidak lebih besar dari Hujroh Bindep yang buat ikhtiba’ itu...Seluruh potensi ekonomi pesantren di bagi ke keluarga. KOPEL buat Kyai, KIPTIR buat adiknya, Kantin Guru buat adik satunya, dan seterusnya...Padahal santrinya “Cuma” 4.000 orang, mobilnya mercy seharga hampir 1 M, dan tiap tahun ganti !! Saya pribadi malah berpendapat, untuk Kyai “selevel” Ust Syukri dan Ust Hasan dengan 20.000 asuhan di negeri ini, apa yang beliau ambil dari pondok itu sungguh2 “tidak layak”. Apalagi sekarang kita di luar, melihat bagaimana para Kyai Politikus pada punya kemewahan yang Gila-gilaan.

Jadi, meletakkan makna hal tersebut diatas, memang sebaiknya di maknai secara tersirat, bukan tersurat. Demikian kurang lebih penjelasan ana.

Dari Postingan Ust. Oky Siqoh Haqiqatan

Advertiser