Wednesday 29 September 2010

Cara Mati

Pagi terasa begitu sejuk, cerah berawan, terucap syukur akan segala nikmat yang telah Allah karuniakan padaku. Hari itu menjadi hari pertama ku berada kembali di kota penuh ilmu, kota yang konon katanya menjadi kiblat orang yang haus akan ilmu pengetahuan, tapi entah kini menjadi kota apa, belum lama ini terpampang jelas, ditengah kota tulisan ‘kota beriman’ tapi sekarang tak tau kemana tulisan itu, mungkin
lenyap seiring tidak berimanya lagi kota. Namun aku masih menemukan tulisan ‘dilarang memasuki kawasan
ini selain yang berpakaian muslim’ dalam 3 bahasa di 3 gerbang masuk ke mesjid kebanggaan masyarakat Aceh. Meski aku masih melihat mereka yang mengaku muslim memasuki kawasan itu tidak berbusana muslim, khususnya kaun hawa. Ah…entahlah. Yang jelas, pagi dikota ini begitu indah kurasa setelah beberapa saat kutinggalkan. Banda Aceh.


Hari makin siang, mendung tak lagi menampakan dirinya, mungkin untuk sementara awan dah bosan ma matahari sehingga hari terasa sedikit panas, tapi aku yakin, panas ini belum seberapa dibanding panasnya neraka. Nauzubillah….

‘disaat waktu berhenti, kosong. dimensi membutakan mata, memekakkan telinga, saat paradigma dunia tak lagi digunakan untuk menerka, sadarku akan hadirmu, mematahkan sendi-sendi yang lama tegak berdiri’. Terdengar suara itu begitu jelas ditelingaku, menganga dari Hp yang telah lama menemani kesendirianku, kupasang suara itu sebagai nada pesan masuk.
‘Muh, kelampuuk (laut di Aceh) yuk…bareng teman-teman…’ itu bunyi pesan yang kubaca.
Tanpa pikir panjang langsung ku balas ‘bole..jam berapa?’
‘sekarang’ balasnya lagi.

Lagi-lagi tanpa pikir panjang, motor kunyalakan dan langsung menuju rumah teman yang ngajak kelaut. Pikirku, daripada dikamar terus berkutat ma layar monitor, rehatlah bentar.
Setelah menunggu beberapa saat, kami mulai perjalanan ketempat tujuan. Kebetulan hari itu hari minggu dan juga pekan pertama setelah hara raya Idul Fitri makanya pantai lampuuk terlihat penuh dengan manusia. Ada yang lagi nyantai-nyantai, mandi, bercengkerama dengan keluarga dan aktivitas lainya.

Tiba-tiba mataku tertancap pada sebuah kerumunan orang, penasaran ingin tahu ada kejadian apa, kudekati. Hatiku sedikit tersentak mendengar bahwa baru saja ada remaja yang hanyut dibawa ganasnya ombak, usianya sekitar 16 tahunan, akhirnya kami urungkan niat tuk mandi (memang dari awal aku tak ada niat tuk mandi, hanya ingin menikmati pesona pantai lampuuk) namun disetiap pinggir pantai masih terlihat mereka yang mandi dan bersenang-senang, seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Ternyata kegirangan masih melalai kan kematian. Astaghfirullah…Hingga kami kembali belum diketahui keadaannya, berharap suatu keajaiban dating. innalillahi…

Saat kembali, tak langsung kulanjutkan perjalanan ketempat peraduanku, tapi ku harus mengantarkan teman kerumahnya. Terlihat jalan disekitar rumahnya penuh dengan kerumunan orang, kami tak tahu ada kejadian apa, mungkin akan ada pengajian dimeunasah, pikirku, menerka. Sesampai dirumah teman yang kuhantar, keluarganya menawari makan malam, sulit untuk kutolak meski baru saja makan di laut tadi. Tiba-tiba cerita pun mengalir disela santap malam. Menjawab rasa penasaran dijalan tadi, bahwa baru saja penduduk kampungnya meninggal dunia disebuah warung kopi saat sedang menikmati minuman diwarung tersebut. Kejadian itu bermula saat kursi yang diduduki almarhum patah dan beliau terjatuh, ajal tak dapat ditolak, dalam perjalanan kerumah sakit beliau menghembuskan nafas terakhir, usianya sekitar 30 an tahun, meninggalkan 2 orang anak dan seorang istri. Innalillahi….

Setelah isya aku kembali kekamar kost ku. Lagi, berita duka datang dari teman sekampus. Kejadianya, teman-teman kami yang akan menuju sebuah tempat ditabrak sebuah mobil ‘ford’ , dikendarai oleh supir yang sedang mengantuk, datang dari arah berlawanan. Dan mengakibatkan tabrakan beruntun, seorang bapak meninggal dunia, sementara teman-teman kampus kami mengalami luka yang amat sangat serius dan langsung dilarikan kerumah sakit Zainal Abidin dibagian gawat darurat. Tiga dari empat teman kami kritis tak sadarkan diri.

Keesokan hari terdengar berita, salah satu dari mereka harus diamputasi kakinya. glek, terasa sulit tuk menelan ludah, tak sanggup membayangkan, dalam hati, ku hanya mampu berdoa, ya Allah…kuatkanlah ia…jadikanlah ia hamba-Mu yang sabar…

Siang harinya. Lagi, kudengar kabar salah satu dari mereka menghembuskan nafas terakhir. Tak sanggup kutahan air mata tuk tak keluar. Ya Allah…kami milik-Mu…hanya pada-Mu kami kembali…
Sahabat, kita tak pernah tahu apa yang akan terus terjadi dalam kehidupan ini, manusia terus datang dan pergi, kita sudah dating, tinggal menunggu saat pergi. Saat waktu itu datang, tak ada kuasa kita tuk menolak, kita hanya mampu menunggu dan mempersiapkan. Kita tidak pernah tau dimana serta bagaimana cara kita pergi meninggalkan kehidupan ini, didaratkah? Laut? Udara? Atau dibahwa ban? Nauzubillah…

Ainama takuunu yudrikumul mautu walau kuntum fii buruujim musyaiadah….’dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, meskipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokok’ (Q:S An-Nisa’ 78)

Hanya satu yang kita harap, pergi meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan khusnul khatimah.
Ya Allah, jika memang sudah saatnya kami pergi, janganlah kau perintahkan malaikatmu tuk mencabut nyawa kami disaat kami sedang lupa akan titah-Mu, disaat kami sedang bermaksiat pada-Mu
Cabutlah nyawa kami disaat kami sedang sujud pada-Mu, disaat bibir kami basah akan asma-Mu

Advertiser